Artificial Intelligence (AI) sedang merayap masuk ke setiap sudut kehidupan: dari cara kita bekerja, belajar, hingga berinteraksi. Namun ada satu pertanyaan yang kerap luput dibicarakan: Bisakah AI benar-benar menyatu dengan local wisdom, kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, terutama di Indonesia yang begitu kaya budaya dan tradisi sosial?
Indonesia bukan hanya sekadar negara dengan banyak pulau, tetapi juga rumah bagi ratusan etnis, bahasa, dan adat istiadat. Dalam satu wilayah, aturan sosial bisa menekankan gotong royong, sementara di wilayah lain kemandirian pribadi lebih dihargai. Ada budaya yang sangat menghormati hierarki, ada pula yang lebih egaliter. Bahkan nilai moral tertentu bisa dipandang luhur di satu daerah, tapi dianggap tabu di tempat lain.
Di titik inilah AI menghadapi tantangan. Mesin belajar dari data, dari pola yang bisa diulang. Tapi local wisdom bukan sekadar pola. Ia cair, penuh konteks, dan sering kali tak tertulis. Contohnya: bagaimana AI akan memahami kapan pantas menggunakan bahasa halus dalam percakapan, atau kapan boleh lebih lugas? Bagaimana AI bisa menimbang kapan sebuah keputusan bisnis dianggap etis dalam budaya tertentu, padahal di budaya lain justru dianggap tidak wajar?
Lebih jauh, ada dilema ketika kearifan lokal satu komunitas bertentangan dengan yang lain. Apakah AI harus memihak? Atau sekadar menjadi penonton yang “netral”? Apakah mungkin netralitas itu sendiri justru melukai salah satu pihak?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting, bukan untuk menolak AI, melainkan untuk mengingatkan bahwa teknologi tidak hidup di ruang hampa. Ia akan selalu berhadapan dengan konteks manusia, yang sering kali lebih kompleks daripada algoritma mana pun.
Barangkali jalan keluarnya bukan sekadar melatih AI dengan lebih banyak data, melainkan dengan cara melibatkan komunitas lokal dalam mendefinisikan bagaimana teknologi seharusnya bertindak.
Mungkin juga, AI harus dirancang dengan kerendahan hati: bukan untuk “menguasai” atau “menggantikan” kebijaksanaan lokal, tetapi untuk menjadi alat yang mendukungnya.
Akhirnya, pertanyaan “mampukah AI menyatu dengan local wisdom” tidak punya jawaban tunggal.
Justru nilai dari pertanyaan ini terletak pada proses berpikir kita sebagai manusia: apakah kita ingin teknologi hanya sekadar pintar, atau juga bijak?