Skip to main content

Digitalisasi sering dianggap persoalan biaya atau teknologi. Tapi di banyak organisasi, hal yang paling menakutkan justru satu: transparansi data.

Dashboard real-time terasa seperti cermin yang terlalu jujur. Ia menampilkan semuanya tanpa filter—keterlambatan, inkonsistensi, bahkan kesalahan yang dulu bisa ditutupi lewat laporan yang belum selesai.

 

Budaya Lama: Data Sebagai Alat Kuasa

Dalam pola manajemen lama, data disimpan seperti harta pribadi. Ada spreadsheet di laptop staf, file Excel di folder tersembunyi, dan laporan mingguan yang harus “dirapikan dulu sebelum dikirim.”

Pola ini lahir dari budaya di mana siapa yang memegang data, dia yang memegang kendali. Selama informasi bisa dipilah dan disaring, reputasi bisa dijaga, citra tetap aman.

Namun dunia digital bergerak dengan logika berbeda. Sistem berbasis data yang dibangun dengan logika bisnis yang bersih tidak mengenal basa-basi. Ia cepat, konsisten, dan terbuka bagi siapa pun yang berwenang. Di titik inilah sebagian orang merasa kehilangan zona aman.

Harga yang Dibayar Karena Takut Transparansi

Menolak transparansi berarti menanggung risiko besar:

  • Keputusan diambil berdasarkan data yang sudah kedaluwarsa.
  • Antar divisi saling menunggu laporan.
  • Evaluasi performa masih berdasar opini, bukan metrik.

Akhirnya, organisasi berjalan seperti mobil dengan kaca spion tertutup—tetap melaju, tapi tanpa tahu potensi bahaya dari berbagai arah yang bisa terjadi tanpa terduga.

Transparansi Data Bukan Berarti Telanjang Data

Banyak yang salah paham. Transparan bukan berarti semua orang tahu segalanya. Transparansi berarti setiap orang tahu apa yang relevan untuk perannya.

Sistem Informasi Manajemen (SIM) modern seperti yang kerap dikembangkan Jitu Teknologi membantu organisasi mencapai keseimbangan ini:

  • Akses yang terukur sesuai tanggung jawab.
  • Audit trail yang jelas untuk setiap perubahan data.
  • Dashboard real-time yang memotong rantai komunikasi yang tidak efisien.

Ketika sistem bekerja dengan logika yang bersih, yang diuji bukan lagi siapa yang paling lantang bicara—tapi data mana yang paling valid.

 

Digitalisasi Butuh Keberanian Kolektif

Transformasi digital bukan hanya soal sistem baru, tapi perubahan perilaku lama:
menyembunyikan kekurangan, menunda laporan, atau menjadikan data sebagai senjata alih-alih bahan bakar organisasi untuk berkembang.

Perubahan tidak membutuhkan sosok heroik. Ia butuh keberanian kolektif untuk berkata:
“Mari kita buka datanya, dan benahi bersama.”

Dengan prinsip Simplify the complexity, Jitu Teknologi membantu organisasi menata ulang sistem informasi agar transparansi tidak lagi menakutkan dan terkesan rumit, tetapi menjadi kekuatan baru untuk tumbuh.

Sniper

Every shot tells a story of honor and service.